HUTAN KALIMANTAN BARAT, KEMANA ARAHNYA ?

Oleh Yohanes Supriyadi

Propinsi Kalimantan Barat trletak di bagian barat pulau kaimantan atau di antar garis 2º 08’ LU hinggar 30º 05’ LS dan diantara 108º0’BT hingga 114º 10’BT, seluas 146.807 km2.Berdasarkan letak giografis yang spesifik ini maka, Kalimantan barat dilalui oleh garis khatulistiwa (garis lintang 0º) tepatnya di atas kota Pontianak, karena pengaruh letak ini pula, maka Kalbar adalah salah satu dari daerah tropik dengan suhu udara cukup tinggi serta di iringi kelembaban yang tinggi.

Secara umum daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah.sebagian dataran rendah ini berrawa-rawa bercampur gambut dan hutan mangrove. dilihat dari tekstur tanahnya, sebagian besar daerah Kalimantan Barat terdiri dari jenis tanah PMK (podsolit merah kuning) yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28 % dari luas daerah Kalimantan Barat sekitar 14,7 juta hektar; jenis tanah OGH (organasol, Gley dan humus) meliputi luas areal sekitar 19,9 ribu km² dan jenis tanah alluvial mliputi luas areal sekitar 15,11 ribu km².

Adanya jalur lintas darat antara Tebedu - Entikong yang menghubungkan lalu lintas barang dan orang antara Kalimantan Barat dan Negara bagian Serawak turut berpengaruh terhadap kondisi politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan di daerah Kalimantan Barat.

Kondisi Kehutanann Kalimantan Barat
Sektor kehutanan di Kalimantan Barat (Kalbar) mulai dilirik oleh banyak pihak sejak tahun 1967. Ketertarikan untuk mengolah hutan Kalimantan pada saat itu sangat wajar karena hutannya tergolong ke alam hutan perawan (virgin forest) yang dilamnya tentu saja tidak hanya menghasilkan kayu tetapi tetapi juga hasil hutan ikutan lainnya termasuk kekayaan habitat dan biodiversity. Hutan yang dilirik pada masa itu adalah hutan di sepanjang perbatasan Indonesia - Malaysia. Salah satu pihak yang cukup memiliki minat tinggi untuk melakukan pengelolaan hutan di wilayah tersebut adalah militer. Jatuhnya orde lama(ORLA) yang kemudiaan dijadikan orde baru (ORBA) di bawah kepemimpinan Soeharto menempatkan ABRI sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola hutan di kawasan perbatasan sekaligus melakukan penumpasan dan penangkalan atas masuknya paham komunis – partai komunis Indonesia (PKI) yang “disinyalir” bermarkas di perbatasan hutan perbatasan Kalbar dan Kaltim, Indonesia dengan Sarawak, Malaysia timur.

Dengan memanfaatkan isu politik nasional – penumpasan PKI di wilayah perbatasan kawasan hutan di wilayah tersebut dipercayakan pengelolaannya kepada ABRI yang kemudian membentuk peusahaan berbadan hokum berupa yayasan yang kemudian di berikan hak untuk melakukan pengelolaan hutan. Kedua yayasan itu adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Yayasan Maju Kerja (YAMAKER) dan HPH Yayasan ABRI (YAMABRI). Sambil “menangkal” masuknya paham komunis ke Indonesia, maka Kalimantan di bagian perbatasan Indonesia – Malaysia yang membentang dari Kalbar –

Kaltim sepanjang 1. 840 Km meliputi kawasan seluas 1.108.500 Ha, dimana sepanjang 805 Km atau seluas 843.500 Ha diantaranya masuk dalam Kalbar dan sepanjang 1.035
km atau seluas 265.000 Ha masuk ke wilayah-wilayah Kaltim (Bplan,2003, hal 4 & 7). Ijin HPH kedua yayasan tersebut dikeluarkan pada tahun 1967 tetapi mulai beroperasi pada tahun 1969 meskipun secara formal ijin mereka berakhir tahun 1999 dengan meninggalkan tunggakan PSDH/DR sebesar 3,9 milyar rupiah.

Keberhasilan dan kemakmuran didapatkan oleh pengelola YAMAKER dan YAMABRI dalam bisnis kayu ini mengundang banyak pihak untuk mendapatkan ijin HPH diwilayah ini yang sejak 1969 secara akumulatif terus bertambah. Pertambahan HPH membawa konsekuensi pada semakin bertambah pula proses deforestasi, akibatnya, Kalbar sampai tahun 2002 ini telah kehilangan hutan tropis seluas 700.000 Ha (NGO Movement, Agustus 14, 2002) dan angka diatas jauh lebih kecil dari angka pencadangan yang telah di berikan ijin di Kalbar sehingga angka di atas masih perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Selain itu kawasan kritis yang terdapat di wilayah Kalbar telah mencapai seluas 4.784.824,37 Ha yang terdiri dari dalam kawasan seluas 1.760.909 Ha dan diluar kawasan seluas 3.0223.915 Ha (Dinas Kehutanan 2001)

Dalam sejarah perkembangan perusahaan HPH di Kalbar, terdapat sebanyak 87 buah perusahaan HPH dan 9 buah diantaranya terbit dengan ijin Bupati. terbitnya ijin HPH murni dari Bupati merupakan refleksi dari reformasi kebijakan sector kehutanan melalui UU No. 22 dan 41 Tahun1999 serta PP No. 25 Tahun 2000 dimana Mentri melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Bupati sehingga dengan kewenangan tersebut, Bupati dapat menerbitkan SK HPH murni untuk pengusaha kecil dan lokal serta HPHH 100 Ha untuk masyarakat lokal dan koperasi serba usaha (KSU) di sekitar kawasan hutan (Tim Peneliti CIFOR Pontianak, 2002).

Pembalakan hutan, yang dimulai sejak 1969 dan sampai dengan tahun 2003 ini masih terus berlansung dan akan terus berlansung sampai waktu yang tidak dapat diketahui. Penghentian aktivitas ini tidak dapat hanya dilakukan dengan memberlakukan kebijakan desentralisasi. Proses deforestasi yang diawal tahun 1999 mulai melibatkan komunitas lokal merupakan kelanjutan dari proses deforestasi dari masa sebelumnya, dimana justru masyarakat lokal, yang berdiam disekitar hutan sampai tahun tersebut belum memperoleh keksempatan. Sebelum adda upaya untuk membuka kesempatan keluar diluar kegiatan eksploitasi bagi mereka, maka perhatian masyarakat pada hutan tidak akn berpaling dan selama itu pula proses deportasi akan terus berlansung. Berbagai ancaman yang dialamatkan kepada pemerintah Indonesia tidak akan efektif selama masyarakat yang bermukim disekitar hutan tidak dapat diangkat kesejahteraan mereka, bahkan mereka siap berhadapan dengan petugas penertib bilamana upaya penghentian ini dipaksakan pemerintah sebagaimana yang diperlihatkan mereka kepada Tim Wanalaga pada tahun 2002 diwilayah Kabupaten Ketapang, Sintang dan Kapuas Hulu.

Hasil pengertian Alqadrie dkk (2003) tentang otonomi kelestarian dan kesejahteraan masyarakat diwilayah perbatasan menemukan hasil yang mengejutkan banyak pihak. Meskipun sejak 1999 dan bahkan 1998, hutan dikelola secara marak dengan keterlibatan

masyarakat lokal, namun hasilnya baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk yakni mereka yang secara lansung terjun dalam aktivitas ekploitasi dan mereka yang
menduduki jabatan struktur formal dalam pemerintahan maupun dalam struktur sosial pada kelembagaan adat. Dengan demikian, dari hasil eksploitasi hutan tetap dinikmati oleh kelompok pemodal yang terdiri dari pemilik IPKH, pemilik HPH, pemilik angkutan baik darat maupun sungai dan makelar kayu. Namun, penelitian ini menyimpulkan bahwa dampak desentralisasi sector kehutanan terhadap pelaksanaan otonomi daerah menjadi 200 s/d 230% dari angka pendapatan tahun 1997 yang dalam hal ini disumbang oleh sub sector kehutanan lebih dari 75%.

Sudah sepantasnya, di Kalbar masalah eksploitasi sumber daya alam hutan (SDAH) terutama yang menyangkut hasil kayu yang menjadi perhatian banyak pihak. SDAH diesploitasi tadak hanya untuk memenuhi industri dlam negeri melainkan juga untuk pasar Serawak dimana eksploitasi untuk memenuhi pasr luar negeri tersebut dilakukan secara illegal, baik masyarakat dan daerah maupun Negara tidak mendapatkan pendapatan yang sepantasnya dari kegiatan ekploitasi ini.

Lolosnya kayu ke Luar Negeri secara illegal menurut penulis tidak hanya disebabkan belum terbukanya secara luas lapangan kerja diluar sub sector kehutanan, tetapi juga disebabkan oleh sebagian masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak dan dulunya tidak terlibat dalam kegiatan ekploitasi, lemahnya system komunikasi ditingkkat bawah, tidak tegaknya hukum dan lemahnya aparat penegak, prosedur dan distribusi dokumen SKSHH oleh dinas kehutanan, masih tersangkutnya beberapa kewenangan daerah pada pusat dan konflik kepentingan antara pusat dan Daerah.

Agar dapat menembus kendala diatas, masyarakat daerah membangun system dan jaringan sendiri dan kemudian melaksanakan sistim dan komunikasi yang telah tebangun secara swadaya ini. Akibatnya, otonomi yang diberikan daerah tidak berjalan sebagaimana diharapkan sehingga masyarakat dan daerah maupun pusat tidak mendapatkan keuntungan yang optimal atas sumber yang mereka miliki ini.

Maraknya kegiatan ekploitasi SDAH akhirnya menimbulkan dikotomi antara stakeholder di tingkat lokal. Beberapa kelompok yang tergabung dan basis kegiatan mereka berkaitan atau memiliki kepentingan dengan SDAH dan aktivitas ekploitasi, memberikan dukungan pada system pengelolaan hutan ala mayarakat, sementara kelompok pelestari dan institusi daerah mengalamatkan kesemrautan yang terjadi ini sebagai proses lanjut dari potret pengelolaan hutan masa lalu yang tidak dapat dihentikan haqnya dengan desentralisai kewenangan. Begitu tim penertib diturunkan ke daerah, kelompok yang berbasis lokal menyatakan keberatan mereka dengan alas an tindakan penertiban ini dilakukan tidak didahului dengan melakukan koordinasi dengan tidak pula didahului dengan upaya pemberdayaan masyarakat daerah.

Dari ilustrasi diatas, terlihat bahwa dukungan kepada rakyat untuk melakukan pengelolaan hutan dari berbagai pihak masih cukup besar namun pengelolaan yang diinginkan ini masih belum menemukan bentuk permanent yang memenuhi kelestarian
(Pengelolaan Hutan Lestari). Dukungan ini juga dimaksudkan sebagai bentuk mediasi kepada daerah dalam rangka mengisi PAD dari sector kehutanan mengingat sumber dana
untuk pembiayaan pembangunan dan pemerintahan daerah otonomi masih sangat terbatas dan atau masih belum terbuka.



POLITIK PRIMORDIAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2007

Oleh Yohanes Supriyadi

PENDAHULUAN
Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat adalah merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur. Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk propinsi terbesar keempat setelah pertama Irian Jaya (421.891 km2), kedua Kalimantan Timur (202.440 km2) dan ketiga Kalimantan Tengah (152.600 km2). Sedangkan dilihat dari luas menurut Kabupaten/kota, maka yang
terbesar adalah Kabupaten Ketapang (35.809 km2 ata 24,39 persen) kemudian diikuti Kapuas Hulu (29.842 km2 atau 20.33 peresen), dan Kabupaten Sintang (21.635 km atau 14,74 persen), sedangkan sisanya tersebar pada 9 (sembilan) kabupaten/kota lainnya.
Ada 4 kelompok etnik utama di Kalbar: Dayak, Melayu, Cina dan Madura. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk asli-mayoritas, sedangkan dua kelompok etnik berikutnya merupakan pendatang-minoritas Sejak masa kolonialisme hingga sekarang ini, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural di satu wilayah yang relatif kurang sumberdaya alamnya itu. Dengan kata lain, hubungan mereka sejak awal memang cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan inter-etnik yang konfliktual tersebut. Di masa kolonial, dari waktu ke waktu, semua kelompok etnik pernah berperang satu sama lain. Dan di era reformasi sekarang ini, mereka kembali terlibat dalam peperangan simbolik dalam bidang kultural, institusional, dan struktural.
Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa decade di Kalimantan Barat. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Regime kesemena-menaan penguasa ingin diganti dengan regime pemihakan terhadap rakyat. Meskipun kenginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas terlihat kalau kita fahami proses reformasi dari kerangka berfikir transisi menuju demokrasi.2 Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah. Persoalannya, dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri. Terlepas dari persoalan seberapa mendalam perubahan telah terjadi, yang jelas, begitu kata Satjipto Rahardjo, panoramanya sudah berubah.3 Pada tataran formal berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah hati.4
Masyarakat menaruh harapan besar terhadap reformasi politik di tingkat lokal. Tantangan untuk mewujudkan sangatlah berat karena dua aras perubahan ingin direngkuh dalam "sekali dayung". Desentralisasi sedikit banyak menghasilkan keterkejutan pemerintah daerah mengingat selama ini tidak pernah merasakan bagaimana memiliki otonomi. Keterkejutan ini akan diperparah oleh tuntutan agar kekuasaan luas yang baru diterimanya tidak menghidupkan otoritarianisme di tingkat lokal. Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (local good governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya caci-maki penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan semasa kepemimpinan Presiden Suharto. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'. Makalah ini akan juga menggunakan kerangka pemikiran yang populer ini, namun perlu untuk mendudukkan bahwa pada masa kejayaan pemerintahan Suharto, pola penyelenggaraan pemerintahan yang dilembagakan saat itu, adalah pola yang dianggap terbaik.
Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas, namun bukan berarti bahwa Presiden Suharto tidak memiliki konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu difahami sebagai good governanve kini sudang dianggap sebagai pola yang usang. Singkat kata, reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang tidak mudah dilihat, yakni melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu di catat. Pertama, konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada benak dan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan baik. Problema penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya bukan semata berakar pada kualitas konsepnya semata, melainkan juga pada ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep tersebut. Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang siur. Bias pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan manakala konsep 'good governance' itu sendiri sebetulnya, secara praktis, diperankan sebagai stigma untuk mende-legitimasikan sentralisme dan otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru. Peran stigmatik konsep good governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara. Dan ketiga, pemaknaan konsep good governance saat ini terjadi dalam suasana dimana hegemoni wacana yang berakar pada liberalisme terlihat sangat kental. Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak otoritarianisme, namun masih menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga. Dalam suasana dimana hegemoni faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi, menjadi liberal atau tidak. Pola good governanve a la liberal mungkin bisa terlembaga kalau masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri. Kecenderungan yang terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti bahwa masyarakat mau enaknya memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung persyarakat-persyaratan untuk tegaknya sistem yang liberal itu. Sebagai contoh, maraknya demostrasi adalah pertanda dari pemanfaatan secara baik iklim politik liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak dilindungi tatkala melakukan hal itu.
Reformasi, dalam dirinya mensiratkan arti penting ide-ide baru. Kalau point-point tersebut di atas dicermati, penentuan arah reformasi penyelenggaraan pemerintahan melibatkan suatu proses pertarungan ide. Pertarungan itu terjadi melalui berbagai bentuk pembingkaian alur wacana. Dalam konteks inilah makalah ini berbicara tentang politik epistemik. Persoalannya, bukan hanya apa dan siapa yang mengutarakan ide-ide, tetapi juga bagaimana ide-ide tersebut diperankan dalam proses reformasi. Aktor yang terlibat dalam politik ide ini memang tidak terbatas pada organ-organ yang secara sempit didefinisikan lembaga-lembaga politik (seperti partai-partai politik, DPR dan kepala daerah) namun juga organ-organ yang semala ini "berkelit" untuk diidentifikasi sebagai aktor politik, seperti yakni universitas, pusat-pusat pengkajian, assosiasi keilmuan dan sebagainya.

BAB II
POLITISASI ETNIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2007

Pembentukan Identitas Politik Dayak
Dalam menggambarkan bagaimana Belanda secara sembarangan mengidentifikasikan Dayak sebagai sebuah komunitas yag beragam, merupakan pendidikan asli, populasi non Muslim yang berseberangan dengan populasi Melayu yang Muslim, saya menggunakan konsep Mamdani akan identitas politik, yang dihasilkannya dari pengamatan pada genosida yang berlangsung di Rwanda . Pada jangka pendek, dalam membedakan identitras kultural atau ekonomi, Mamdani melihat identitas politik yang melekat dan sebagai sebuah hasil dari pengorganisasian kekuatan dan pembentukan oleh negara. Tidak seperti di Rwanda, generasi dari Melayu dan Dayak sebagai sebuah identitas politik di Kalimantan Barat belum mengakibatkan perang saudara yang besar, meskipun telah secara perlahan menghasilkan sebuah penandaan yang mengental dan perdebatan yang terpolarisasi pada dua kutub . Tulisan ini tidak akan menghadirkan secara definit menyangkut isu mendasar –siapa Dayak dan siapa Melayu--. Sebaliknya akan lebih menekankan untuk menggambarkan bagaimana identitas politik demikian mengalami perkembangan dan perubahan seiring waktu di tengah-tengah sebuah matrik kompleks dari hubungan kekuasaan yang terbuka. Pengaruh dan campur tangan Eropah di Kalimantan Barat masih sangat kurang hingga pertengahan abad ke-19. Peperangan di Jawa (1825-1830) yang diikuti dengan intensifikasi areal pertanian, yang lebih dikenal dengan Tanam Paksa, yang menyerap sumberdaya yang berada di daerah kolonial. Keadaan ini mengakibatkan wilayah pedalaman menjadi tidak terperhatikan.
Pada 1840an, dimana Belanda secara greadual menerapkan langkah yang lebih maju keberadaannya terhadap kepulauan yang lebih timur. Di Kalimantan Barat secara khusus, berlangsung ketakutan di pihak kaum kolonilis menyangkut perkembangan yang berlangsung di perbatasan sebelah utara akibat hadiran James Brooke, seorang pengelana Inggris, di Serawak . Kekhawatiran Brooke (baca Inggris) dapat merasakan kesenjangan teritorial Belanda sebagai tanda kelemahan dan menjadikannya alasan yang tepat untuk memperluas daerah di Selatan, Belanda mencoba membuat ikatan yang lebih kuat pada kawasan ini. Artinya, mereka harus berkonfrontasi dengan kekuasaan yang mengakar dan asosiasi penambang Cina yang semi otonom (kongsi), yang makmur akibat keeratan perdagangannya dengan Sinagpura. Gencarnya serangan Belanda ditandai dengan berlangsungnya sebuah serial konfrontasi berdarah berhadapan dengan Federasi Fosjoen Tjoengthang dari kongsi di daerah Sambas. Akhirnya, pada 1854, Fosjoen menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Selanjutnya kekuasaaan kolonial mengembangkan adminstrasinya dan memaksa jangkauannya ke pedalaman bagian barat Kalimantan, sebagai bagian dari ambisi penguasaan teritorial, juga sebagai bagian dari upaya menghambat perkembangan Islam. Kehadiran sebuah ”pemerintahan” dalam bentuk formalpun mulai dikembangkan. Hanya dengan tercapainya rust en orde (kedamaian dan ketaklukan) yang membuat misi kolonilaisme berhenti. Sebenarnya, motif keuntunganlah yang dioperasikan, namun Kalimantan Barat tidak pernah menghasilkan kekayaan untuk penguasa. Heidhues secaa tajam mengamati bahwa kekayaan yang banyak diceritakan berubah menjadi hanya sebuah dongeng belaka.
Konsepsi kolonial menyangkut ras, kategori etnis dan hirarki menjalar hingga pedalaman Kalimantan sebagai akibat perluasan otoritas Belanda hingga hulu Sungai Kapuas. Menyangkut hal ini, Harwell mencatat: ”Untuk kebutuhan administrasi Belanda, pembedaan krusial untuk membatasi bahwa petani Dayak non Muslim memenuhi syarat untuk memberikan upeti, tenaga kerja suka rela, pajak dan selanjutnya menjadi pengikut Kristen; menempatkan pemuka Melayu Muslim untuk melakukan aturan tidak langsung dan mengawasai perdagangan...” Seperti yang berlangsung saat itu, Belanda membuat sebuah sistem yang secara langsung memberikan para pemuka Melayu memperoleh keuntungan dan menjalankan penegakan hukum yang dibuat oleh para kolonial. Selanjutnya, aturan ini berlanjut degan menjadikan masyarakat non Muslim sebagai subyek dari pajak yang berganda dan kerja paksa. Tanpa memperhatikan keterkaitan yang kompleks di lapangan, sungguh penting untuk mencatat bahwa baik Melayu maupun non Melayu terbelah dalam mengantisipasi kolonialis. Kolonialis tidak membuat perpecahan ini, yang berlangsung cepat melalui kedatangan dan perpindahan menjadi Islam. Pada perjalanan waktu, pemunculan perpindahan sebagai Islam menyebar melalui pesisir sungai. Secara jelas, perpindahan agama juga mengakibatkan perpindahan afiliasi keernisan. Masyarakat asli non Muslim yang kehidupannya mengadopsi cara Islam—sering dikatakan pula sebagai singganan—menjadi Melayu . Karena itu, mayoritas Melayu, terutama di daerah perhuluan sungai, aslinya merupakan Dayak. Secara keseluruhan, kolonialis tidak melakukan pembedaan yang demikian. Hal ini terjadi bagaimanapun berlangsung akibat pengentalan dan gaya darisebuah polarisasi politik melalui pemaknaan identitas Dayak homogen populasi non Muslim yang berseberangan dengan populasi Melayu yang Muslim. Bibit ini tidak dapat ditawar namun tergelincir menjadi dikotomi yang terus berlangsung. Sebagai kelanjutan dari kebijakan tidak langsung, terdapat dua memaknaan lebih lanjut oleh para kolonial, termasuk pula Brook, yang menghasilkan identitas Dayak yang monolitik. Pertama memelalui peperangan atau sebaliknya melalui penciptaan perdamaian. Di Kalimantan Barat, pengenaan aturan Belanda dan perubahan mendasar dari status hubungan anatara pembuat aturan yang terkena aturan memancing sebuah insiden kerusuhan-kerusuhan kecil yang tiba-tiba. Dalam studinya di daerah perbatasan Indonesia pada akhir abad ke-19, Tagliacozzo mencatat bahawa ”Belanda tidak terlihat memahami bahwa kebijakan yang dibuatnya nyata-nyata membuat banyak kekerasan yang berlangsung... Masyarakat dipaksa hidup di bawah aturan baru dan di bawah kondisi dan keadaan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Dimana secara natural akan melahirkan perlawanan pada perkembangan matrik kekuasaan....” Guna mengurangi ketidakterntraman, Brooke dan Belanda kerap memanfaatkan memanfaatkan masyarakat asli non Muslim, Dayak, sebagai tenaga bantuan. Dalam prosesnya, pelabelan dari identitas subyek ini termaterialisasikan. Salah satunya, pada 1885, Belanda memanfaatkan Dayak untuk untuk memadamkan sebuah pemberontakan oleh penambang emas yang berasal dari pecahan kongsi Lanfang di daerah Pontianak. Sekalipun demikian, tidak ada tempat yang dinamikanya lebih terlihat dari daerah di sepanjang perbatasan Serawak, sebuah sandiwara buruk dari kekerasan yang hidup sebelum perdagangan illegal, bersamaan dengan intrik-intrik Brooke, melanjutkan kegelisahan yang timbul di pihak Belanda. Pada 1850-60-an, penjaga perbatasan yang ditempatkan Belanda, meningkatkan campur tangannya diantara persaingan yang berlangsung diantara pemuka Melayu. Dan pada 1886, dalam sebuah kasus yang jarang terjadi, Belanda bekerja sama dengan Charles Brooke untuk menggelar sebeuah ekspedisi penghukuman terhadap sebuah kelompok suku Iban, yang merupakan penduduk daerah perbatasan dan termasyhur kerap merampok kepentingan Inggris dan masyarakat Dayak tetangganya. Sebagai bagiannya, Brooke merekrut sekitar 11.000 orang Dayak sebagai pasukan pembantu . Belanda, meskipun terkejut akibat dampak yang ditimbulkan ekspedisi ini –dimana mereka harus pula berupaya untuk melindungi rumah panjang dari penghancuran—menempatkan masyarakat Dayak (dan beberapa Melayu di Kapuas) untuk bertugas dalam pertarungan sebaik-baiknya.
Penciptaan perdamaian oleh kolonialis juga terlihat secara jelas dalam pembentukan identitas Dayak . Untuk menciptakan stabilitas di hulu Kapuas (dan pada daerah Kalimantan Tengah yang luas), terlepas dari penghancuran ketidak amanan, Belanda menegosiasikan gencatan senjata, memperkuat perkampungan dan dalam beberapa kasus memindahkan suluruh penduduknya ke lokasi-lokasi aman . Pertemuan perdamaian yang terkenal di Anoi (Kalteng) pada 1894, dimana peperangan, perbudakan dan perburuan kepala dinyatakan dilarang, sebagai bentuk yang dihasilkan oleh upaya ini. Meskipun warisan yang ada tetap dipertahankan, upaya-upaya kolonial mendapatkan penghargaan . Khususnya, melalui penyatuan perwakilan Dayak yang tersebar, penguasa menyatukannya diantara para peserta suatu kesadaran akan nasib yang sama tumbuh dan tentunya, sebuah perkenalan yang familiar. Deskripsi di atas menggambarkan bagaimana kolonialis mendesain sebuah ketidak benaran identitas yang seragam bagi masyarakat asli yang non Muslim. Selanjutnya memberikan efek dan menyediakan dasar dalam mobilisasi politik di masa mendatang, ”Dayak” sebagai sebuah identitas politik memerlukan pengakuan sesamanya untuk menjadi perlambang/ simbol. Sebuah kejadian kunci dalam pertumbuhannnya adalah saat kemunculan para pemuda pelajar yang memperoleh didikan di sekolah missionaris dan mulai merasa cocok dengan apa yang Belanda sudah percayai mereka sebagai ”Dayak”. Melalui pengakuan antara satu dengan lainnya dan yang terpenting adalah diantara mereka, sebagai Dayak, mereka tidak lagi mempertahankan kemandirian semata-mata atas daerah aliran sungai atau kelompok bahasa, namun sebagai bagian dari kategori umum yang dihadirkan. Selanjutnya, kesadaran politik secara provinsial mulai terbentuk.
Sebagai catatan dari paparan di atas, Belanda mengupayakan membatasi perkembangan Islam ke perhuluan Sungai Kapuas, dimana perpindahan menjadi Islam sangat banyak terjadi sejak pertengahan abad ke-19. Satu alasan pembendungan pertumbuhan politik Melayu di pedalaman oleh kekuatan kolonial ini, dimana dengan cara yang demikian mampu menghambat perkembangan Islam modern dan nilai simbolis yang prestisius. Dimana secara regional, perkembangan Pan Islamisme sedang merebak. Guna merintangi penyebaran Islam, penguasa kolonial mengalihkannya menjadi pada kerja-kerja misionaris. Merupakan keuntungan bagi kaum misionaris, yang bagaimanapun, memerlukan sebuah perubahan menyangkut pencapaiannya, hampir selama masa kolonial, penguasa terkesan mencurigai upaya-upaya untuk merubah penyembah berhala. Hal ini menjadi pemikiran karena penyebaran agama membahayakan tujuan utama regim penguasa dalam yang mendorong eksploitasi ekonomin secara cepat. Melalui pengenalan menyangkut kemanusiaan yang diinspirasikan oleh politik etis pada 1910, bagaimanapun, merupakan upaya untuk secara moral dan material mengangkat masyarakat adat (tertinggal), penguasa melembutkan pandangan mereka menyangkut missionaris. Sebaliknya, secara kritis pandangan sebagai sebuah hasil ekspansi negara di di luar pulau yang didukung oleh militer berarti sebuah pemaknaan agar keterjaminan bahan mentah sebagai bahan bakar bagi ekonomi kapitalis dunia, politik etis juga membenarkan untuk campur tangan pada masyarakat adat. Kondisi ini mengakibatkan terfasilitakannya dengan jelas transformasi kultural pada komunitas tradisional.
Di Kalimantan Barat – seperti yang dipahami kemudian—gereja berperan dalam pembentukan bahan dasar dan utama bagi misi pembudayaan, terfokus meskipun tidak secara eksklusif, pada masyarakat non Muslim Kapuas. Dimana, seperti yang disadari, masyarakatnya masih kurang terpengaruhi oleh Islam dan cenderung belum tertekan oleh aturan Melayu. Secara paradoksal, tentunya, aturan tidak langsung telah menyelubungi kerajaan menekanan kapasitas pada tempat pertama. Selanjutnya, misionaris menggunakan kesempatan dengan memperhatikan segala kesempatan untuk membuDayakan dan kristenisasi masyarakat hulu Kapuas. Pada 1890 sebuah stasi kecil dibuka di Semitau (Kabupaten Kapuas Hulu), dimana kemudian segera diikuti dengan pendirian kombinasi gereja-sekolah di dekat Sejiram. Dukungan kelembagaan yang minim menuntut ketabahan pada tahap awal ini. Baru pada 1905 dimana Kongregasi Capuchin memperoleh penugasan resmi dari Pusat Gereja Katolik di Roma dengan bantuan akses eksklusif ke Kalimantan Barat, barulah upaya misionaris menjadi lebih memperoleh momentum.
Perkembangan keberhasilan misionaris berlangsung lambat. Secara tidak layak, kebebasan yang amat sama dimiliki oleh masyarakat memaksa misionaris mengurangi penerapan Gereja. Namun dengan bertambahnya anak-anak yang mengikuti sekolah dasar yang dikelola misionaris, perpindahan semakin bertambah. Dan meskipun dalam perkembangan jumlah absolut menurun, akhirnya, upaya gereja mendorong perpindahan tidaklah sepadan dengan perpindahan aktual. Hal yang terpenting, pendidikan misionaris menjadi media penyebaran idealisme barat – demokrasi, kesetaraan dan pemeberdayaan diri sendiri—termasuk diantaranya para pendiri PD. Perluasan dari jaraingan sekolah memberikan struktur dasar bagi elit Dayak di tingkat propinsi utnuk bergabung. Dampak dari sejumlah orang Dayak yang berupaya untuk lulus adalah baik pembebasan maupun perlawanan. Sementara melengkapi dengan pengalaman untuk bersatu dan denyut demokrasi yang secara serius harus berubah dibutuhkan untuk membawa akhir dari keadaan buruk bagi masyarakat Dayak, gerakan ini juga sesuai dengan misionaris. Keadaan ini membantu perkembangan kepercayaan dan selanjutnya menjadi tidak dapat dipertahankan terhadap kerjasama politik melalui aturan penguasa. Gereja merupakan sesuatu yang konservatif, badan hirarkis yang ketat , dan berjuang untuk merubah pandangan patronasenya setelah perang usai, pemimpin PD juga sedang berjuang untuk membangun hubungan yang sesuai dengan gereja. Pendidikan misionaris tidak hanya menghasilkan dasar untuk kemunculan sebuah identitas bersama. Juga membantu untuk perubahnnya menuju sebuah kesadaran politik. Bagi segelintir elit sebuah lokasi kunci tidak berada di hulu Kapuas, melainkan di sebuah desa kecil yang terletak di utara Singakawang bernama Nyarungkop. Pada 1917 minionaris membuka sebuah sekolah kecil yang berkembang cepat menjadi sekolah 5 tahun dengan siswa sekitar 50 orang; sebagaian kecilnya yang tidak lebih dari setengahnya berasal dari daerah lain. Perkembangan –secara geografis, pendidikan dan idiologis—dari kontak misionaris ini secara nyata berkembang. Sebuah kursus guru (cursus normaal) tidak lama kemudian di buka, selanjutnya ditingkatkan menjadi sebuah program pendidikan guru (CVO, cursus volksschool onderwijzer). Para lulusannya menjadi pengajar pada sekolah dasar di pedalaman atau melanjutkan pendidikannya pada sebuah sekolah seminari bawah di Pontianak atau sebuah sekolah tinggi guru Katolik (normaalschool) di Sulawesi Utara.Dimana hasilnya menjadikan pemimpin Dayak menjadi tersohor dan tenaga kerja yang terlatih yang dibutuhkan bagi transformasi landasan ke depan PD yang nyata: memperbesar kesempatan memperoleh pendidikan bagi orang Dayak. Pada 1941 sebuah retret guru-guru sekolah Katolik dilakukan di Sanggau, dengan inisiatif Oevaang Oeray, seorang murid seminari, yang tampaknya menjadi cikal bakal dari pergerakan Dayak di Kalimantan Barat yang terorganisir. Kita harus menduga-duga bagaimana proses perkembangannya hingga berjalan terus, hingga akhir tahun tersebut, dimana Tentara Kerajaan Jepang telah mendarat di Kalimantan Barat. Seperti yang kita lihat secara pendek, bagaimanapun, pemunculan elit Dayak mendapat keuntungan yang besar dari perang dan dinamika politik sejak masa awal kemerdekaan.

Perkembangan Politik dan Formasi Identitas Etnik
Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda & Jepang. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu, namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Sebagaimana Dayak, Madura adalah rakyat biasa, yang seakan menjadi budak bagi kelompok etnik lainnya. Namun tidak seperti Dayak, kelompok etnik pendatang ini harus menghambakan dirinya bukan hanya pada satu, melainkan juga kelompok etnik lainnya. Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris juga membuka kesempatan pendidikan yang besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Sedangkan Madura dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan usaha sendiri dalam bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal. Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.
Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam. Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu.

Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002. Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil menjadi bupati di Sanggau. Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan dalam politik. Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih sebagai anggota DPRD tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai Golkar yang berkuasa atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam, dan/atau NU atau PKB pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik secara berurutan dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha mendekatkan diri secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada hukum adat, sedangkan secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai nasional dan Islam yang umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja tidak sepenuhnya dapat menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang harus terpaksa menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu.

PEMILIHAN KEPADA DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT
Kepemimpinan pemerintahan provinsi Kalimantan Barat akhirnya mengalamai pergantian. Pilkada Gubernur tanggal 15 November 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Cornelis-Sanjaya akhirnya mengakhiri keinginan pasangan Incumbet, Usman untuk bertahan berkuasa kembali. Melewati proses yang cukup menegangkan, Pilkada pun berjalan dengan cukup sukses dan tidak menimbulkan gejolak besar, meskipun beberapa riak dan protes yang menyertai beberapa tahapan pilkada, seperti pendaftaran pemilih.
Berdasarkan data, ada beberapa faktor kekalahan incumbent. Suara pemilih dari kalangan Islam yang populasinya 55,05% dari 4,032 juta penduduk Kalbar didasarkan Sensus 2005 yang tersebar di 14 kabupaten/kota, terpecah pada tiga calon gubernur yang beragama Islam, Usman Jafar, Oesman Sapta dan Akil Mochtar. Jualan politik incumbent mencakup keharmonisan antaragama dan etnis, investasi meningkat, menghargai keberagaman untuk menuju Kalbar terbuka yang didengungkan selama kampanye, ternyata tidak sepenuhnya mampu menarik simpati masyarakat pemilih. Sebaliknya, paket Cornelis – Christiandy yang selama kampanye maupun sosialisasi cukup intens melakukan sosialisasi di kalangan masyarakat kristiani yang populasinya hanya 33% dari 40,32 juta penduduk (Katolik 22% dan Protestan 11%), dengan kasatmata dan vulgar berani meniupkan isu lokal yang terkadang kesannya sangat sensitif dengan merangkul banyak tokoh adat dan gereja. Janji Cornelis-Christiandy yang akan memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat marginal, minoritas, terpinggirkan, pemerataan pembangunan, mempermudah izin mendirikan gereja, memberikan perhatian maksimal kepada masyarakat di pedalaman, menghapus dominasi kelompok mayoritas, membuat perimbangan jabatan struktural antara kelompok Islam dan kristiani di Kantor Gubernur Kalbar, ternyata cukup ampuh menarik simpati masyarakat pemilih. Ini membuat perolehan suara Cornelis–Christiandy menang di delapan daerah pemilihan, di mana di tiga kabupaten pemilih mayoritas kristiani menang telak. Sedangkan Usman Jafar–LH Kadir hanya menang telak di tiga kabupaten dengan penduduk agama Islam mayoritas. Sedangkan Oesman Sapta–Ignatius Lyong hanya unggul di Kabupaten Ketapang. Perolehan suara Akil–Mecer secara keseluruhan tidak sampai 300.000 suara.
Kemenangan bakal diraih Cornelis– Christiandy, mengingatkan kita akan pengalaman pahit akibat perpecahan kaum politisi Islam di Kalbar dalam pemilihan Gubernur Kalbar melalui sidang paripurna DPRD Provinsi Kalbar pada 14 November 1959. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1955, dari 30 kursi DPRD Provinsi Kalbar diperebutkan, 18 kursi dikuasai politik Islam, mencakup empat kursi Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi sembilan kursi dan selebihnya partai kecil. Kemudian Partai Persatuan Dayak hanya mengantongi 12 kursi yang kesemuanya beragama Kristen. Hasil pemilihan Johanes Chrisostomus Oevang Oeray dari PPD beragama Katolik, keluar sebagai pemenang, dengan mengantongi 14 suara. Ini akibat perpecahan dua politisi Islam, dimana Abdussyukur yang diusung PNI mengantongi empat suara dan Muazani A Rani yang diusung Partai Masyumi mengantongi 12 suara. Implikasinya JC Oevaang Oeray dicatat sebagai Gubernur pertama Kalbar hasil pemilihan kelembagaan legislatif.

Di sepanjang pilkada yang telah berlangsung sejak 2005-2007, pilkada Kalimantan Barat adalah salah satu pilkada yang menyajikan pertarungan isu primordialitas yang cukup kuat. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kuatnya isu primordialitas pada Pilkada Kalimantan Barat. Pertama, konfigurasi kekuatan primordial di Kalimantan Barat cukup beragam dan cenderung berimbang. Misalnya soal representasi isu agama, komposisi penganut Islam dan Kristen berada di kisaran 59 %;49%. Perbedaan yang cukup tipis. Begitu juga pada representasi etnis. Di daerah ini dihuni beberapa etnis besar, seperti Dayak, Bugis, Madura, Tionghoa, Batak, Melayu dll. Beberapa etnisi ini kemudian memiliki basis tersendiri di setiap wilayah tertentu. Kedua, sejarah konflik pada dekade terakhir yang muncul di Kalimantan Barat adalah berbasis dari isu primordial atau cenderung berbau SARA. Masih segara ingatan dalam kasus kerusuhan Sambas beberapa tahun yang lalu yang cukup menelan kerugian materil dan basis sosial yang akhrinya memerlukan masa rekonsiliasi yang cukup panjang. Selain itu, adany kasus pengusiran suatu etnis terhadap etnis tertentu dari wilayah Kalimantan Barat. Basis konflik yang berbau SARA seperti itu tidak serta merta hilang ketika memasuki wilayah pertarungan politik. Justru pilkada kemudian membangkitkan semangat primordialisme masing-masing kelompok.
Ketiga, berimbangnya kekuatan Islam dan Kristen di Kalimantan Barat kemudian memposisikan setiap kandidat harus menimbang representasi calon dari kedua unsur agama ini. Sehingga, pada verifikasi terakhir pendaftaran calon yang dilakukan oleh KPUD Kalimantan Barat, ditetapkan empat pasangan calon Gubernur. Dari empat pasangan tersebut, tiga diantaranya menduetkan pasangan atau kolaborasi antara Islam-Kristen. Tujuannya jelas, dengan representasi kedua agama ini, pasangan dapat meraup suara di masing-masing basis agama. Keempat, sejatinya di Kalimantan Barat ada dua etnis yang memiliki basis cukup besar, yakni Dayak dan Melayu. Dalam sepanjang periode kepemimpinan di Kalimantan Barat, posisi gubernur masih lebih dominan berasal dari etnis Melayu. Sementara etnis Dayak belum memiliki peran yang cukup signifikan dalam kepemimpinan di level provinsi, khususnya posisi Gubernur. Hal ini disebabkan oleh sistem rekruitmen kepemimpinan provinsi sebelum pilkada masih murni menggunakan mesin partai lewat DPRD. Dan sudah mafhum bahwa pola pemilihan melalui DPRD dahulu lebih banyak diatur dan kuasai oleh keinginan Soeharto melalui Golkar. Dalam situasi seperti itulah, representasi etnis daya di kacah kepemimpinan Kalimantan Barat cenderung terpinggirkan. Sehingga ketika ada pilkada langsung, maka kekuatan Dayak dikonsolidasikan dalam rangka menorehkan sejarah baru, bahwa sudah saatnya etnis Dayak memimpin Kalimantan Barat.
Keempat faktor tersebut kemudian mewarnai konstelasi dalam Pilkada Kalimantan Barat. Proses pemilihan pasangan calon dan agregasi dukungan yang dilakukan kandidat lebih mengandalkan pendekatan isu primordial, dibanding dengan penawaran isu dan program yang kongkret. Proses lobby untuk memperoleh dukungan pun lebih intens dilakukan untuk memperoleh dukungan dari elit primordial dibanding mendatangi kelompok grass root. Misalnya dalam proses kandidasi, pemilihan cagub dan cawagub oleh partai pengusung tidak sepenuhnya menimbang kekuatan partai yang ada di belakang tokokh kandidat tersebut. Yang dihitung adalah representasi primodial yang melekat pada tokoh tersebut. Dalam agregasi isu dukungan pun, isu primodialisme tetap menjadi dominan, misalnya isu yang ditawarkan oleh pasangan Cornelis-Sanjaya. Pasangan yang didukung oleh PDIP ini mencoba menawarkan isu rekonsiliasi kepada etnis Madura dengan isyarat etnis dari Jawa Timur itu memberi kepada dukungan kepada Cornelis-Sanjaya.
Selain itu, proses mencari dukungan pun akhirnya melibatkan institusi-institusi sosial yang sejatinya bergerak sebagai organisasi non politik. Fakta ini terungkap ketika tiga hari sebelum hari H, tepatnya tanggal 13 November, beberapa elemen umat Islam yang terwakili oleh 21 lembaga dengan dikoordinir oleh Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Barat secara terbuka menyataan dukungan kepada pasangan nomor satu, Usman Jafar-Laurentius Herman Kadir. Konon sikap ormas Islam ini dipicu oleh adanya dukungan yang bulat umat Kristen pada pasangan nomor empat, Cornelis-Sanjaya. Tak pelak, dukungan terbuka yang digalang MUI ini kemudian menjadi bola panas jelang hari H. Perdebatan kemudian muncul ketika, dua pasangan lainya, yakni Oesman Sapta-Ignatius dan pasangan Akil Mochtar-Robertus Mecer merasa juga berhak merepresentasikan suara umat Islam. Akhirnya kemudian muncul saling protes antar internal umat Islam.
Namun pada akhirnya, proses Pilkada Kalimantan Barat melahirkan pemimpin baru. Pasangan Cornelis-Sanjaya akhrinya mampu mengalahkan pasangan incumbent Usman Jafar-Laurentius Herman Kadir dengan komposisi suara (43,20 persen) :(31,36 persen). Kemenangan pasangan yang diusung PDIP ini sesungguhnya begitu mudah diprediksi apabila menempatkan proporsi dukungan murni berdasarkan representasi primordial (baca; agama), tidak berbasis dukungan partai politik. Secara jelas, dengan mengkombinasikan pasangan kristen-kristen, pasangan Cornelis-Sanjaya ingin menunjukkan bahwa mereka yang paling tepat merepresentasikan suara umat Kristen. Dengan hanya mendapat dukungan dari satu partai, tentunya pasangan ini cukup percaya diri dengan kombinasi tersebut. Sementara pasangan lain, meskipun didukung oleh beberapa partai, namun potensi tidak solidnya suara cukup besar, sebab komposisi pemilih umat Islam terbagi ke tiga pasangan yang masing-masing memiliki basis pendukung setia.
Realitas agregasi suara yang demikian kemudian begitu terlihat di hari H. Bersatunya suara umat kristen pada pasangan Cornelis-Sanjaya amat nyata. Di Landak misalnya yang mayoritas penduduknya Kristen, perolehan suara pasangan Cornelis-Sanjaya mencapai angka 80-90 % setiap TPS-nya. Pasangan lain, meskipun wakilnya dari Kristen, tapi tetap tidak memikat suara umat Kristen. Di daerah Singkawang pun demikian, mayoritas etnis Konghucu di daerah ini juga lebih memilih pasangan nomor empat. Singkatnya, di setiap daerah yang berbasis non muslim, dipastikan pasangan Cornelis-Sanjaya memperoleh suara terbanyak. Hal ini menunjukkan penempatan cawagub dari non muslim pada tiga pasangan lainnya ternyata tidak efektif mendongkrak suara non muslim.
Bersatunya suara non Muslim kepada pasangan Cornelis-Sanjaya sesungguhnya tidak semata faktor kapasitas dan akseptabilitas sosok Cornelis dan Sanjaya. Namun yang menjadi faktor penting adalah pasangan ini menjadi media pemersatu umat non muslim khususnya etnis Dayak (Cornelis) dan etnis Konghucu (Sanjaya) dalam memperoleh kesempatan untuk menjadi pemimpin di Kalimantan Barat. Artinya siapapun sosok pasangan itu akan memiliki peluang besar untuk menang sebab menjadi media pemersatu khususnya etnis dayak. Pilkada gubernur Kalimantan Barat telah menambah referensi wajah pertaruangan dalam pilkada. Bahwa isu primordialitas akan menjadi dominan di sebuah local tertentu. Inilah kemudian yang memposisikan pertaruangan pilkada tidak mudah ditebak. Hitungan lama yang selama ini berlaku bahwa pasangan calon yang terkuat adalah pasangan yang didukung oleh parpol besar sudah semakin tidak akurat. Banyak pilkada yang dimenangkan oleh pasangan tertentu dengan dukungan oleh variabel yang tidak semata oleh kekuatan parpol. Salah satu dari variable itu adalah kekuatan primordial. Namun yang diharapkan sesungguhnya adalah dinamika kekuatan primordial dalam pilkada tidak sekedar untuk menambah kekuatan politik untuk mengejar kekuasaan. Sebab apabila kekuatan primordial sekedar untuk mengejar kekuasaan, maka hal itu memiliki potensi untuk konflik dan sengketa. Sebab pertimbangan primodial sesungguhnya lebih kaku dan cenderung hitam putih dibanding dengan dinamikan politik murni.
Sebaliknya, kekuatan primordial diharapkan member warna positif dalam khazanah dinamika politik yang saat ini cenderung buram. Dominasi parpol yang cenderung oligarkhis di setiap pilkada seharusnya mampu diimbangi oleh kekuatan primordial. Namun kehadiran politik primordial juga memperkuat masuknya nilai kearifan local dalam dinamika politik local khususnya. Indonesia tentunya member peluang munculnya era politik yang beradab yang diusung oleh nilai-nilai primordial yang positif pula.





FENOMENA KOMUNITAS ADAT DIKALIMANTAN BARAT

Oleh Yohanes Supriyadi

Sebelum membahas fenomena komunitas adat lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa kekuasaanlah yang akhirnya menetukan arah perkembangan sosial manusia. Sejak kapan kekuasaan menjadi simbol eksistensi manusia ? menurut Karl Marx, eksistensi manusia dapat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya. Semakin kaya seseorang semakin mendapat penghargaan, penghormatan dan ditinggikan derajatnya. Materi inilah yang menyebabkan manusia membangun stratifikasi, antara yang kaya dan miskin. Rene Descartes, filsuf perancis mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Sampai sekarang, pendapat Rene ini dipakai manusia untuk mengatakan dirinya ada. Deddy Mulayan, merujuk Thomas M Scheidel, menyebutkan bahwa aktivotas komunikasi juga menjadi instrumen untuk menyatakan eksistensi diri, sehingga berlaku pameo “ saya berbicara, maka saya ada”. Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita ada.
Penguasaan atas akses dan aset sumber eksistensi ini dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa sumber-sumber yang diperebutkan relatif statis, sementara manusia yang memperebutkannya semakin banyak, tensu saja juga sama dengan kebutuhannya. Hal ini membuat manusia masuk dalam aktivitas kopetisi yang sangat ketat. Barangsiapa yang menguasai aset sumber daya tersbeut, ia akan tampil menjadi ”pemimpin” yang mempunyai kekuasaan mengatur, mengendalikan dan mendistribusi. Cara kerja kekuasaan dalam proses sosial inilah yang kemudian melahirkan praktek hegemoni. Kekuasaan lebih lanjut berarti kemampuan atau kesematan untuk menjalankan dan mengatur interaksi masyarakat. Secara politik, kekuasaan identik dengan sistem pemerintahan negara. Namun, dalam kehidupan konkrit, kekuatan terjelma dalam pelbagai macam lembaga dan kegiatan. Kepala desa mempunyai tangan-tangan yang mengatur jalannya pemerintahan berdasarkan perintah birokrat ”diatasnya”, para pemuka agama mempunyai kekuasaan dalam menggerakkan umat untuk bertindak menurut pola agama, dan para tetua adat mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan umatnya untuk bertindak menurut adat dan taat pada hukum adat serta melindungi wilayah adat, sesuai ajaran leluhur. Persaingan dalam memperebutkan pengaruh itulah indikasi cara kerja kekuasaan, karena kekuasaan selalu ingin memperbesar pengaruhnya.

A. Pergulatan identitas; menuju unifikasi etnik
Pasca hancurnya kekuatan pemerintah Orde Baru, komunitas adat di Kalimantan Barat merasakan betapa pentingnya adat dalam mengawal ”proses” kehidupan selanjutnya. Sungguhpun sempat terjatuh dalam aksi kekerasan rasial selama kurang lebih 100 tahun, komunitas adat dengan dukungan para intelektualnya di partai politik dan LSM, mulai menapak hari-harinya dengan penuh keyakinan, bahwa bagaimanapun juga adat tetap menjadi pilihan terbaik ditengah terpuruknya moralitas bangsa diabad modern saat ini. Namun, membangun gerakan ini ternyata tidaklah mudah. Selain kurang solidnya pemimpin mereka, juga telah hancurnya kelembagaan lokal, yang telah menjadi acuan selama ini melalui politik unifikasi hukum atas nama desa.
Secara kasat mata, gerakan kembali ke adat dimulai pada pertengahan tahun 1985. dimana, pada tahun ini, identitas suku-suku kecil sebagai komunitas adat yang bertebaran pada 4 kabupaten di Kalimantan Barat muncul. Dulu, suku-suku kecil ini menamakan dirinya beradarkan nama tempat tinggal atau persekutuan hukum yang dibangun nenek moyang mereka. Namun, ditahun ini pula, identitas itu mulai diangkat kembali. Mereka bertanya-tanya, siapakah kami sebenarnya ? Siapakah suku Dayak Kanayatn itu ? untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ini, kembali saya membolak-balik berbagai literatur. Saya menemukan sebenarnya tidak banyak literatur yang menunjukan secara detail keberadaan suku Kanayatn di Kalimantan, bahkan dibeberapa hasil penelitian “orang Barat“ tidak ada satupun yang menunjukan dengan tegas “ Kanayatn”. Kata Kanayatn secara jelas terdapat dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Ia melakukan penelitian di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu yang dekat dengan desa-desa orang Bakati’ ( Jirak, Sebangki, Timpurukng ) dan desa-desa orang Banyadu’ (Pentek, Semade, Parigi). Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Mungkin ini bagian dari kepentingan untuk memperluas basis politik dan kekuasaan ( politik unifikasi) mereka, yang kalau dilacak merupakan politik khas Orde Baru. Para elite Dayak ini menyepakati bahwa orang-Dayak yang tinggal dipedalaman bagian utara dan selatan Kalimantan Barat sebagai Dayak Kanayatn, sebuah identitas baru pada suku ini.
Dalam kacamata sejarah bangsa ini, Stanley Karnow, seperti dikutip Simon Takdir, 2003, membuat peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan melalui Semenanjung Malaya. Mereka memasuki muara sungai Sambas dan Salako (Selakau, menurut ejaan Melayu). Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim dikaki bukti senujuh, dikawasan sungai Sambas Besar. Dikawasan ini dikemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 dengan rajanya Ratu Sepudak, seorang yang telah beragama Hindu. Rakyatnya masih mengant agama tradisional. Apakah mereka iini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ? untuk menjawab ini, seorang antropologi, Wonojwasito, 1957 menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi diseluruh kepulauan Indoensia, kepulauan Indinesia termasuk Kalimantan telah ada penduduknya, yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito. Mereka mendiami lkepulauan ini sejarh zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Indonesia (Wojowasito, 1957). Kelompok Asutronesia yang bermukim dikaki bukit Senujuh ini, karena julahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang kedaerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayatn atau Rara dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu bakati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penurut tiga bahasa ini masih mengerti bila mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing. Menurut informan saya, kanayatn itu berada disebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai Salako/Selakau, didaerah Kinane, Subah dan sebagainya atau disebelah utara jalan raya. Barangkali ini sejalan dengan kata sanskerta/kawi yaitu Kanayatn berasal dari kata : Kana + Yana, atau Kana + Yani. Yang berarti Kana : sana, Yana : jalan, yani : sungai ( Prawiroadmojo, 1981 ). Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayatn berasal dari kata tersebut diatas, yaitu suku yang tinggal disebelah sana jalan atau sungai ?
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail keberadaan suku Kanayatn saat ini, maka saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn. Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, pada awal Orde Baru. Mereka telah melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak melalui satu kekuatan politik di Golkar, sebuah partai pemerintah. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu, istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan'. Kemudian dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Misalnya diadakan Musyawarah Adat Dayak Kanayatn di Anjungan tahun 1985, yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak. Para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak kala itu.
Untuk membuktikannya, ditemukan sebuah dokumen penting yang menyebutkan Kanayatn mulai “dipakai “ pada tanggal 23-25 Maret 1985, melalui Musyawarah Adat se-Kabupaten Pontianak di Anjungan. Pada akhir musyawarah, peserta sepekat untuk membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak. Selama musyawarah, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI. Pada akhir musyawarah ini, peserta memilih F. Bahaudin Kay, sebagai ketua umum DADK Kab. Pontianak. Ia adalah seorang Timanggong dari Binua Temila Ilir I –Pahauman. Inilah organisasi dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Lambang organisasi ini adalah pemipis dan gantang. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periDayake 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periDayake 1992-1997 dari GOLKAR. Setelah musyawarah adat itu, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992, ada siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa Banana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya. Istilah ini menjadi berurat berakar pada Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Demikian juga berbagai tulisan yang dimuat dalam Majalah Kalimantan Review dan buku-buku terbitan Institut Dayakologi. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya.
Sejak itu, tidak pernah lagi terdengar perdebatan istilah ini secara signifikan. Baru, pada akhir tahun 1999, istilah ini muncul kembali. Adalah Institute Dayakologi, sebuah LSM Dayak yang kembali membuka perdebatan seputar istilah Kanayatn. Dimuali dengan musyawarah adat di wilayah Binua Temila, Maniamas Miden SoDayak, bersama ratusan penduduk dibinua ini pada akhir tahun 2001 mendeklarasikan komunitasnya sebagai komunitas Dayak Bukit. Perdebatan istilah Kanayatn mulai menghangat kembali ketika di seminar Naik Dango XVIII se-Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak di Menjalin, seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, membahas seputar Dayak Salako. Ia secara rinci menjelaskan kepada peserta, betapa Dayak Salako adalah induk dari berbagai suku-suku yang berdialek banana, ahe, bajare. Menurutnya, suku Kanayatn sebenarnya adalah orang-orang yang berbahasa non ba ahe dan non bajare, yakni orang-orang yang berbahasa nganayatn ( ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli ) dan itu berarti Kanayatn adalah orang-orang Bakati, Banyadu’, Bainyam dan isoleknya yang lain. Simon membeberkan sejumlah fakta bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa subsuku Dayak Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Dalam kenyataannya, istilah 'Kanayatn' populer di kalangan orang yang berbahasa Banana' dan varian sejenisnya, terutama yang bermukim di aliran Sungai Mampawah dan anak-anak sungainya. Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar ( lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ).

B. Perdebatan Yang tak Henti di Sekitar Pelaksanaan Hukum Adat
Akhir-akhir ini kita sering membaca di koran bahwa suatu kasus/tindak pidana diselesaikan dengan "hukum adat". Bahkan kadang sudah menjurus dikomersilkan, sehingga cukup memberatkan bagi pelanggar. Tidak jarang untuk memberlakukan hukum adat menggunakan/mengarakan kekuatan massa. Padahal sejak berlaku hokum positif yang mengejawantah dalam KUHP bagi seluruh rakyat Indonesia pada tahun 1848 (ulangi tahun 1848 Kodifikasi Hukum Positif Indonesia) maka Hukum Adat diseluruh Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi, namun tetap dihormati. Arti dihormati disini adalah bahwa bila ada suatu suku bangsa yang ingin menerapkan Hukum Adat hanya berlaku untuk suku bangsa itu sendiri secara intern, tidak berlaku untuk suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang diberlakukan hokum adat berarti si pelanggar tersebut mengandung 2 (dua) resiko: 1. Menerima penjatuhan Hukum Adat berdasarkan adat setempat. 2. Menerima penjatuhan hukum positif/Pidana (karena hukum adat tidak dihapuskan hukum pidana, hanya dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang meringankan). Beberapa pihak menyatakan keberatannya dengan pemberlakukan hukum adat ini. Menurut mereka, seharusnya hukum adat cukup berlaku dikomunitas adat, dan bukan ditempat lain.
Bagi suku bangsa yang memberlakukan hukum adat, misalnya suku Dayak di Kalimantan Barat di Daerah Kabupaten Landak, maka hanya berlaku untuk daerah intern saja, bahkan jika suku Dayak Kabupaten Sintang/Kapuas Hukum melanggar suatu kasus di daerah Landak, tidak bisa diterapkan hukum adat. Untuk menjembatani ini, maka tetap Hukum Positif (KHUP), karena penerapan Hukum Adat suatu daerah kemungkinan tidak sama dengan daerah tempat terjadinya pelanggaran/kasus tersebut. Demikian juga pelaksanaan Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Positif (KUHP), misalnya melakukan penyenderaan/penyitaan .
Penerapan hukum adat, juga mulai dipertanyakan warga berbagai acara pertemuan masyarakat. “Saya hanya ingin mempertanyakan, batasan wilayah mana hukum adat itu berlaku, karena sekarang banyak orang mengatasnamakan forum, atau pemuka adat,bahwa sesuatu telah melanggar hukum adat," tanya warga . Lebih lanjut dikatakanya, tak adanya batasan yang jelas dilaksanakanya hukum adat itu, dapat menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga dapat mendorong konflik dalam kemajemukan kehidupan warga. Memang sampai saat sekarang masih belum ada pembakuan hukum adat secara universal. Dalam salah satu acara pelantikan pengurus adat, seorang Ketua Dewan Pemangku Adat MABM Ketapang, menyerahkan buku "Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Kayung" kepada pengurus ranting MABM Sandai Kanan. Buku yang diterbitkan MABM Kabupaten Ketapang itu menjelaskan jati diri Melayu serta hukum adat Melayu Kayung. Yang disebut puak Melayu itu adalah orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan menggunakan adat istiadat Melayu. Puak Melayu itu adalah non genealogis,". Menurutnya, hukum adat Melayu merujuk pada syariat Islam. Sebagai rakyat Indonesia, maka seharusnya kita tunduk pada hukum positif . Jadi kalau etnis lain boleh melaksanakan hukum adatnya kepada publik di luar wilayah adatnya. Dardi menerangkan sebagai orang Melayu berharap pemerintah RI mengakui hukum syariat Islam. Ini juga sudah tertuang dalam piagam Jakarta. Dia juga mengingatkan MABM ranting Sandai Kanan agar jangan melaksanakan hukum adat di luar syariat Islam. Dicontohkannya seperti denda atau membayar adat sebagai ganti hukuman terhadap pelanggar tindak kriminal. "Kalau jelas pelanggaran kriminal seperti perzinahan, hendaklah diserahkan kepada pihak penegak hukum, bukan dihukum adat," tegasnya . Penegasan itu, ketika dilakukannya pembentukan pengurus ranting Sandai Kanan pada 25 Maret 2005.
Senada dengan tokoh ”Melayu” diatas, pelanggaran hukum terutama tindakan kriminal, juga seharusnya tetap dibawa hukum positif dan jangan dilarikan ke hukum adat. Hukum positif harus lebih ditegakkan, ungkap Kapolres Sintang melalui Kapolsek Nanga Pinoh IPTU M Surbakti . Menurutnya, permasalahan ini perlu perhatian dari semua kalangan serta warga dan juga tokoh adat, karena tindakan yang melanggar hukum bahkan sudah mengarah kepada tindakan kriminal memang harus dibawa ke hukum positif, karena di dalamnya sudah ada mengaturnya serta undang-undangnya. Jadi pada intinya, apabila ada kasus yang menyangkut masalah kriminal dan sejenisnya, jangan di larikan ke hukum adat. Permasalahan yang sering terjadi, ada masalah yang terkadang di selesaikan dengan acara adat, meski tindakan itu memang kriminal. Jadi masalah ini ke depannya perlu menjadi perhatian serta untuk dipahami oleh semua elemen yang ada. Kemudian di sisi lain Sino S Sos, pemerhati pembangunan Melawi menambahkan bahwa apa yang dikatakan olek Kapolsek Nanga Pinoh perlu dukungan dan perhatian masyarakat, karena hukum positif merupakan barometer penegakan hukum. "Jangan masalah pencurian dan sebagainya lalu diselesaikan dengan cara hukum adat lalu selesai," ujarnya. Disisi lain ada juga tindakan kekerasan terhadap wanita, terkadang diselesaikan dengan cara adat, padahal tindakan yang dilakukan itu cukup berat, karena menyangkut kelangsungan hidup si korban. Bahkan Kapolsek minta kepada warga jangan takut serta engan melaporkan tindakan kekerasan terhadap wanita, sebab dibiarkan maka pelaku akan tidak jera serta merajalela. Namun, seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa jangan salahkan hukum adat. Menurutnya, hukum adat yang berlaku adalah merupakan warisan leluhur yang memang harus dilestarikan dan silaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Tetapi dibalik itu, ia juga mengingatkan agar masalah adat ini benar-benar diperhatikan dengan baik. Mengingat sekarang ini, Pemerintah sedang giat-giatnya menarik para investor untuk dapat menanamkan modalnya sehingga diharapkan Adat tersebut tidak menghambat dan membuat investor merasa takut datang .
Perdebatan diatas kemudian semakin meruncing dengan suara sumbang yang hadir di Harian Pontianak Post hari Jum'at (5/3/2004) tentang "Tegakkan Hukum Positif, Tolak Hukum Adat" yang dikeluarkan oleh Ir. Ikdar Salim dan Zulkarnaen Bujang selaku tokoh masyarakat Melayu dan sebagai Ketua Forum dan Ketua Tim Sebelas FKPM Singkawang. Pernyataan ini kemudian menimbulkan rekasi keras dari kalangan Dayak. Seorang pemuda Dayak, yang juga duduk sebagai ketua III dalam kepengurusan Kelembagaan Dewan Adat Dayak Kota Singkawang, sangat tidak sependapat dengan pernyataan kedua orang ”melayu” yang berani-beraninya ngomong lancang terhadap Dewan Adat Dayak, sebagai penyelesaian kasus Kn . Tokoh ini meminta keduanya untuk jangan mencampuri dan adat budaya orang lain dan harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat dan suku Dayak yang ada di kalimantan (Borneo) dan khususnya masyarakat Dayak Kota Singkawang. Sebab menurutnya, Adat dan kelembagaan Dayak lebih dulu lahir dari Forum yang mereka pimpin.
Apa yang melatarbelakangi ”perang” sikap atas pemberlakukan hukum adat diatas ? Mengenai fenomena Hukum Adat sekarang ini diterapkan pada masyarakat kota (misalnya: Singkawang dan Pontianak), saya menyatakan bahwa hal itu adalah "Kebablasan". Saya berani menyatakan hal itu sebagai suatu kebablasan, karena penerapan sanksi adat tersebut sudah menyimpang dari hukum adat yang sebenarnya. Sanki Hukum Adat hanya dapat dijalankan pada lingkungan masyarakat adat yang secara "de facto" kehidupan warganya masih berpegang pada Hukum Adat. Jadi, hukum adat berlaku mutlak di kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat karena realitas sosial masyarakatnya yang secara de facto masih berpegang pada adat istiadat tersebut. Sanski hukum adat itu berlaku bagi siapa saja yang melanggar, termasuk warga dari suku/daerah lain yang melakukan perbuatan "sumbang" di wilayah Hukum Adat. Penulis surat pembaca tadi keliru jika mengatakan hukum adat hanya berlaku intern bagi anggota suku Dayak saja. Jadi yang penting adalah "locus delicti". Kota, menurut saya bukan wilayah Hukum Adat, khususnya yang menyangkut aspek pidana. Penerapan sanksi hukum adat di perkotaan juga saya anggap sudah kebablasan karena terkesan sudah dikomersialisasikan. Tujuan sanksi hukum adat yang asli di kampung-kampung adalah untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terganggu akibat terjadinya perbuatan "sumbang" yang dilakukan oleh pelaku. Saknsi tersebut lebih bersifat magis-religius sesuai dengan kepercayaan masyarakat adat. Sedangkan sanksi adat yang dijatuhkan oleh orang-orang Dewan Adat di kota bisa mencapai jutaan rupiah, yang sepertinya dibuat-buat, terlalu di "dramatisir". Sebagai orang Dayak asli, saya malah sedih melihat Hukum Adat Dayak dipermainkan oleh oknum-oknum yang mengaku "Pengurus Adat" di perkotaan! Sebagai orang Dayak, saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme penunjukan Dewan adat di kota-kota. Yang jelas mereka tidak dipilih langsung oleh warga masyarakat adat Dayak. Dan saya tahu, bahwa di kota Singkawang dan Pontianak, realitas sosial kehidupan masyarakatnya pasti secara "de facto" tidak lagi berpegang pada Hukum Adat, khususnya yang menyangkut tindak pidana. Sanksi hukum adat dapat saja dijatuhkan pada si pelaku sebagai hukuman tambahan atas perintah Hakim, bukan oleh Dewan Adat yang sebetulnya bukan pengurus adat asli menurut Hukum Adat Dayak. Dewan adat di kota menurut pendapat saya lebih sebagai "organisasi sosial" untuk mengembangkan nilai-nilai budaya Dayak serta melakukan advokasi terhadap hak-hak masyarakat adat di tengah-tengah modernisasi saat ini. Dewan Adat biasanya diisi oleh kaum intelektual Dayak di kota yang mungkin tidak dikenal oleh masyarakat adat Dayak di kampung-kampung!!!
Bagaimana realitas di Komunitas Adat ?
Saat ini, paling tidak pada seluruh tumpuk (kampong,red) terjadi dualisme penerapan hukum, yakni hukum adat dan hukum positif. Dualisme kemudian menimbulkan tarik menarik antara dua kepentingan hukum yang jelas-jelas berbeda. Setiap peristiwa hukum yang terjadi, selalu membuat dua norma ini saling berbenturan. Akibatnya ketidakpastian hukum dan keadilan dialami masyarakat adat, atau orang yang terkena sanksi. Namun pada dasarnya, dua aturan yang dibuat itu bertujuan baik. hukum adat untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat adat, maupun pendatang yang hidup berdampingan dengan mereka. Namun pelaksanaannya kadang-kadang disalahartikan dan cenderung mementingkan kelompok atau kepentingan pribadi. Ini seringkali dimanfaatkan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan sendiri. Jika hukum adat disalahgunakan, maka akan terjadi kepincangan dan ketidakadilan. Namun jika dilaksanakan dengan baik, maka hukum adat ini dapat melindungi, serta memberi rasa aman dan tentram, baik bagi masyarakat adat maupun masyarakat diluarnya. Beberapa aktivis masyarakat adat mengatakan harusnya antara hukum positif dan hukum adat dapat berlaku seimbang. Sebab keseimbangan keduanya dapat lebih efektif mencegah (preventif) dan mengatasi atau menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Bukan sebaliknya yang malah justru menyebabkan timbulnya konflik interest, serta menimbulkan dualisme dalam hukum.
Akankah hukum adat masuk praktik peradilan negara ? pertanyaan ini menarik untuk dijawab, bahwa keberadaan dan ekstensi peradilan adat di masyarakat telah lama di akui. Namun dalam praktiknya, hukum adat justru tidak terkandung dalam sistem peradilan atau hukum formal. Sehingga terkadang masih banyak masyarakat kurang memahami. Jadi, tidaklah mengherankan masih terdapat pro dan kontra terhadap penyelesaian hukum yang menggunakan hukum adat. Pertanyaannya, "akankah hukum adat dapat dimasukkan ke dalam praktik peradilan formal? Persoalannya menurut saya adalah bagaimana keberadaan hukum adat dapat diakui secara formal oleh lembaga hukum di negara ini. Artinya, adanya pengakuan dan penghormatan yang tegas oleh pemerintah daerah terhadap eksistensi hukum adat dan peradilan adat. Di sisi lain, adanya kemauan politik (sikap) pemerintah dalam menempatkan peradilan adat dalam sistem hukum nasional, di samping berbagi pengalaman dan kendala fungsionaris adat dalam upaya menempatkan peradilan adat dalam sistem dan praktik peradilan formal sehingga dapat diketahui, dipahami dan adanya kemauan baik dari Pemerintah untuk memperbaharui praktik dan sistem hukum nasional dalam konteks otonomi daerah. Dan untuk mengatur serta mengelola kehidupan sosial dan sumber daya alam, sudah ada sistem hukum adat. Sehingga bila terjadi pelanggaran, maka yang menyelesaikan dilakukan melalui peradilan adat yang di sebut pekara adat. Namun dalam praktiknya, tambah dia, penyelesaian dan pemutusan perkara adat oleh peradilan adat cenderung dan kurang di hormati keberadaannya (eksistensi) terutama oleh lembaga dan sistem hukum negara. Bahkan peradilan adat belum ditempatkan dalam sistem dan praktik hukum formal. Pemerintah dalam praktik otonomi daerah tidak cukup melakukan perubahan terhadap sistem dan struktur pemerintahan, karenanya masyarakat adat mengharapkan perubahan dan pembaharuan hukum nasional baik sistem maupun dalam praktik, sehingga peradilan adat dalam sistem dan praktik menjadi bagian atau sistem hukum negara, dengan begitu krisis hukum dapat di atasi.
Premanisme Adat, Dampak Konflik Antar Komunitas Etnik ?
Salah satu gejala sosial yang menarik saat ini di Kalimantan Barat adalah munculnya istilah ”premanisme adat”. Hampir disetiap kampung, desa dan kota selalu dapat ditemui pengalaman komunitas yang ”telah” diperdayai oleh preman adat ini. Sebagaimana definisi dari Yacobus (Yacobus;2003), preman adalah sebuah organisasi yang jelas ada, meski tidak berbadan hukum, punya anggota tetap dan jaringan, sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, melakukan tindakan sopoi/malak dengan dalih jasa keamanan, wilayah kekuasaan jelas. Seorang informan saya, mengatakan bahwa premanisme di kalangan masyarakat adat (dayak, red), baru muncul sekitar tahun 1998-2001. Sebelum-sebelumnya tidak ada yang namanya preman Dayak, bahkan untuk berbahasa Dayak saja di Pasar, di Kota Pontianak (misalnya) Terminal, orang Dayak malu. Pokoknya orang Dayak dianggap yang paling bodoh, kolot dan miskin. Kalau Dayak tidak terlibat kerusuhan 1997, kemudian tidak terjadi reformasi, sulit bagi Dayak untuk dapat perhatian pemerintah. Mencari perhatian pemerintah agar suara-suara kita di dengar, tuntutan kita di kabulkan, salah satu nya harus dengan cara keras. Pemerintah yang secara tidak langsung mengajari masyarakat untuk bertindak keras, gaya preman.
Keberadaan preman adat belakangan ini meresahkan warga masyarakat. Bahkan banyak tokoh masyarakat yang secara tegas menolak keberadaan para preman-preman adat ini. Baik dari jenis preman adat kelas sendal jepit hingga preman adat kelas berdasi. Yang dikatakan sebagai preman adat sendal jepit menurut Lomon, adalah oknum-oknum tak bertanggung jawab yang mengaku-ngaku sebagai pengurus adat tertentu atau mengaku sebagai temenggung, yang kemudian mengenakan sanksi adat kepada seseorang akibat suatu perkara tertentu sedangkan yang disebut dengan preman adat berdasi adalah orang-orang yang mengaku sebagai tokoh masyarakat, orang-orang berpangkat atau memiliki jabatan dan kedudukan tertentu yang kemudian memanfaatkan adat bagi kepentingannya sendiri atau kelompok tertentu. Selain itu, mereka juga tidak setuju dengan adanya adat yang dikomersilkan. Karena dalam keadaan tertentu yang tidak menguntungkan, seseorang bisa mengkomersilkan hukum adat dengan berbagai alasan yang terkadang tidak masuk akal. Hal itu perlu diwaspadai dan perlu dipahami benar keberadaan hukum adat ini, agar jangan sampai citra hukum adat itu sendiri ternodai. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan sampai citra hukum adat yang baik jadi rusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sungguh disayangkan jika warisan nenek moyang ini jadi rusak citranya oleh penerusnya sendiri.
Seorang informan saya mengatakan, tidak sembarang menjatuhkan sanksi adat kepada sesorang. Untuk mengenakan sanksi hukum adat terhadap seseorang telah diatur ketentuannya dan mesti dilaksanakan dengan benar untuk menjaga kemurnian hukum adat ini. Bahkan jika ada oknum tertentu yang memanfaatkan hukum adat untuk kepentingan pribadi, maka bagi yang bersangkutan bisa dikenakan hukum adat yang lebih berat lagi. Untuk itu masyarakat diharapkan untuk waspada terhadap kedua jenis preman ini, baik preman adat berdasi maupun preman adat sendal jepit. Saat ini keberadaan kedua jenis preman adat tersebut mulai marak. Dalam pemberlakuan hukum adat pada masyarakat adat Dayak dikenal adanya batas wilayah serta teritori, yang sekaligus merupakan kompetensi berlakunya hukum adat dan adat-istiadat. Namun dalam praktiknya di lapangan, ternyata kompetensi ini terkadang mengalami pergeseran atau penyimpangan. Penyimpangan terjadi, karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh orang-orang yang mengaku memiliki kewenangan sebagai fungsionaris adat. Bahkan penyimpangan itu diakui oleh empat Temenggung dari sub etnik Dayak Pompakngh, Kodatnh, Panu dan Hibun . Hasil riset ini menyimpulkan bahwa terjadinya pergeseran-pergeseran tersebut dikarenakan berbagai hal antara lain komersialisasi hukum adat, premanisme adat serta intimidasi melalui justifikasi hukum adat dan lain sebagainya. Ini berdampak dengan berkurangnya kewibawaan fungsi dan tujuan diberlakukannya hukum adat. Kondisi ini tentunya menimbulkan stereotif dan persepsi kurang baik terhadap eksistensi hukum adat. Untuk menanggulangi itu, tentunya diperlukan tindakan tegas dari para fungsionaris adat terhadap orang-orang yang menyalahgunakan hukum adat. Selain itu juga diperlukan sesegera mungkin kodifikasi, dalam upaya pencatatan dan penyeragaman adat istiadat dan hukum adat. Hal ini tentunya dilakukan untuk menghindari terjadinya dampak negatif dari pemberlakuan hukum adat di masyarakat. Sementara mengenai oknum yang tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adat, namun tetap melanggarnya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran adat.
Menurut para tokoh adat ’asli”, polisi harus berani menangkap preman adat. Bagaimanapun juga, segala bentuk premanisme adat telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat dan merendahkan nilai luhur adat itu sendiri . Thambun melanjutkan, hukum adat berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat dapat menjamin kerukunan dan ketentraman di suatu wilayah dan dapat mengatur prilaku dan tata krama yang sopan dalam pergaulan. Menurutnya, hukum adat merupakan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta diakui hukum nasional. Pelaksanaannya sering ternodai oleh oknum yang disebut preman sehingga merusak tatanan hukum adat. Merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat adat yakni bagi mereka yang benar-benar menjalankan adat. Perbuatan yang dilakukan preman adat bahkan terkadang hukum kebiasaan itu menjadi komersial merupakan pelanggaran pada aturan adat. Karena apa yang dilakukan oknum adat itu bukan merupakan ciri-ciri hukum adat dan bahkan merusaknya. Hanya masih banyak masyarakat yang kena sanksi adat tidak memperkarakan masalah ini. Adanya laporan preman itu bisa ditindak secara adat maupun hukum positif. Seorang timanggong ”asli”, Djumin, dari binua Kaca’, mengatakan sejauh ini jumlah preman adat masih tergolong kecil. Namun di sisi lain, lantaran hal buruk yang terkuak ke permukaan, menjadikannya cepat diketahui. Sebab masyarakat adat tidak mengenal adanya preman. Kalau pun ada dari warga masyarakat lain yang terkena sanksi adat, diperbolehkan bertanya apakah fungsionaris adat atau bukan. Bahkan bisa menolak seandainya yang menjatuhkan adat itu bukanlah fungsionaris adat. Saya menilai ada benarnya juga, preman adat itu timbul karena ikut-ikutan. Mereka meniru buruknya peradilan umum atau lebih dikenal mafia peradilan. Ditegaskannya, hukum adat tetap menjaga kerukunan seperti kata pepatah kalau memukul ular, pemukulnya jangan patah, ular tidak mati dan tak berbekas ke tanah.
Pada saat kongres PAKAT , juga sempat dibahas tentang pembekuan dan pembukaan hukum adat. Mengenai hukum pati nyawa sangat hangat dibicarakan oleh para peserta yang mengikuti kogres tersebut. Namun dari semua itu ada beberapa poin yang perlu dibekukan dan pembukuan di dalam hukum adat. Maka mengenai hukum yang sudah ada di dalam hukup positif sehingga hal itu tidak perlu lagi dimasukan di dalam hukum adat. Sehingga diperlukan kedewasaan kita untuk memahami hukum positif yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehar-harinya. Selain itu diperlukan mental dan perilaku dari masyarakat adat tidak dirubah maka hukum adat tidak berarti apa-apa. Sekali lagi dalam pelaksanaanya jangan sampai terjadi timbang tindih antara hukup positif dan hukum adat.
Menurut seorang informan saya, seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya, penerapan hukum adat mulai bergeser. Hal itu karena sering disalah artikan oleh segelintir orang, sehingga tak jarang penerapannya menjadi melenceng dari ketentuan. Bahkan tak jarang kita dengar bahwa hukum adat dikomersilkan oleh oknum tertentu untuk mencari keuntungan akibatnya setiap keputusan adat dalam menangani permasalahan yang timbul di masyarakat cenderung merugikan orang yang terkena sanksi adat. yang sangat menyedihkan lagi menurut Lukas, dalam penerapan hukum adat ada yang memutuskan perkara kapasitasnya bukan sebagai temenggung. Petugas secara resmi diakui masyarakat, tetapi orang yang mengaku-ngaku sebagai ketua adat bekerja sama dengan beberapa orang (kelompok) merekayasa keputusan adat. Akibatnya, memberikan sanksi menuntut ganti rugi nilai nominal sejumlah uang yang sangat besar. Peristiwa itu sering terjadi dan menimpa warga lain di luar wilayah hukum adat ungkap seorang informan lain. Padahal ditegaskannya, hukum adat adalah merupakan seperangkat peratuaran untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam wilayah masyarakat adat. Hakum adat ada dan diterapkan sejak peradaban manusia itu dibentuk.
Salah seorang tokoh adat, yang duduk dikepengurusan Dewan Adat Dayak mengatakan kepada saya bagaimana mereka membentuk Dewan Adat Dayak yang menurutnya sebagai bagian dari menegakan hukum adat secara konsekuen. Karena, kata dia, sekarang banyak muncul preman-preman adat yang sebenarnya tidak diakui sebagai temenggung, atau pengurus DAD. Mengaku sebagai sesepuh adat dan berani melakukan putusan adat terhadap suatu perkara, dengan menjatuhkan sanksi adat kepada seseorang. Yang dianggap melakukan pelanggaran baik itu warga masyarakat adat setemapat maupun warga lain dengan menuntut ganti rugi sejumlah uang. Yang telah ditetapkan kepada setiap pelaku tindak pelanggaran adat setempat. Hal itu menurut keterangan Lukas, biasanya terjadi pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban menderita atau mengakibatkan korban jiwa. "Namun kriteria sanksi hukumnya disalahtafsirkan sesuai kepentingan kelompok tertentu," katanya. Oleh karena itu, masalah adat harus dikembalikan kepada pihak berwenang yang diakui sebagai sesepuh adat, temenggung, pengurus dewan adat sebagai pihak yang diakui dalam upaya menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Sebab, dalan adat istiadat suku Dayak, sebenarnya dalam menentukan ganti rugi tidak berbentuk denda sejumlah uang, apalagi menyebutkan nilainya. Apabila ada keputusan adat yang meminta ganti rugi jutaan rupiah, itu omong kosong tegasnya.
Kehilangan Pegangan Hidup
Agaknya Charles James Brooke, dalam bukunya The White Rajah of Sarawak, yang terbit tahun 1915 telah mengingatkan kita semua. “ I beg you to listen to what I have to say, and that you will recollect my words… Has it ever occurred to you that after my time out here others may appear with soft and smiling continuances, to deprive you of what is solemnly you right – that is, the very land on which you live, the source of your income, the food even of your mouth ???...you will lose your birthright, which will be taken from you by strangers and speculators who will, in their turn, become masters and owners whilst you yourselves, you people of the soil, will be thrown aside and become nothing but coolies and outcasts of the island. “ (Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik…. Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lag, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu – yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini).
Dari pernyataan Brooek diatas, terlihat jelas pengaruh negara, yang diwakili oleh Desa dan Agama, dalam banyak kasus yang telah menempatkan adat sebagai pihak yang paling terpinggirkan. Dalam praktek sehari-hari, kalangan adat seringkali tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik tingkat komunitas. Agaknya, hal ini dapat dipahami bahwa, kelompok adat hanya diisi oleh orang-orang yang ”tingkat pendidikannya” rendah sekali, bahkan dibanyak kampung, para tokoh adat ini tidka pernah mengenyam pendidikan formal. Menurut seorang informan saya, alasan ini sangat realistis, karena tidka mungkin tokoh adat yang tak berpendidikan akan mampu memecahkan problem pemerintahan dan kemasyarakatan dewasa ini. ”masa mereka telah lewat, dan romantisme masa lallu saatnya ditinggalkan mengingat masa sekarang berbeda dengan masa kini” ujar seorang informan. Pernyataan ini mungkin dapat mewakili, ketertindasan kelompok adat dalam mengembangkan desanya berperspektif adat, walaupun sesungguhnya masih dapat diperdebatkan. Seorang informan dari kelompok adat mengatakan: ”saya heran, ketika mereka itu membicarakan proyek yang ada dananya dari pemerintah, kami tidak pernah dilibatkan, akan tetapi apabila proyek itu bermasalah, yang menyebabkan keretakan dimasyarakat, baru kami dilibatkan dalam menyelesaikan maslaah itu secara adat”
Kenyataan diatas sungguh terjadi, bahkan seorang informan lain dengan sikap menggerutu mengatakan ” kami ini hanya pemadam kebakaran”, bila suasana enak kami ditinggal tetapi bila suasana panas, kami dihormati. Dan aneh bahwa, anggota komunitas adat, tidak juga menampakkan diri sebagai pihak yang kontra dengan ”kebijakan” itu, bahkan disisi lain, secara sembunyi mereka melakukan upaya untuk ”terlibat” dalam arena pertempuran untuk tujuan pribadi. Agaknya, selain ditopang kebijakan pemerintah sebagaimana tersebut diatas, jelas bahwa adat sudah mulai ditinggalkan, bahkan oleh komunitasnya sendiri.
Pasca pemberlakukan pemerintahan desa, komunitas adat mulai merasakan kehilangan kedaulatannya. Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara.
Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung. Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut.
Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal. Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.

Berbeda dengan pengaruh desa, agama telah berhasil memainkan perannya yang strategis dalam upaya penghancuran adat. Melalui evangelis local , yang secara khusus dididik disuatu tempat, proses penghancuran adat secara radikal dimulai. Dalam proses perekrutan evangelis local, sesungguhnya pemimpin agama tidak menempatkannya secara professional, indikatornya adalah mayoritas evangelis baru yang direkrut dari komunitas adat adalah berasal dari tamatan SMP atau sederajat dan bahkan tidak tamat SD. Melalui dogma agama yang sarat sangat “militant”, 2 tahun kemudian mereka dikembalikan kekomunitasnya dan mulai mengajakkan “kabar baik”, dengan merekrut anggota baru. alhasil, komunitas adat terfragmentasi dalam beberapa kubu. Banyak sekali kasus dikomunitas adat yang terkait dengan pengabaran “kabar baik” yang dilakukan evangelis local ini, salah satunya dengan perusakan tempat keramat (panyugu), tempayan antic dan sebaginya, yang dilakukan dengan dalih kegiatan musyrik, primitive dan animis.
Secara ontologis, agama merupakan aspek transenden yang memuat atau dan mengajarkan sekumpulan nilai-nilai moralitas dan pedoman kehidupan yang harus berimplikasi ke dalam imanensi kehidupan umat manusia. Ia dihadirkan untuk mengantarkan umat manusia ke dalam suatu kondisi yang membuat mereka dapat mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaannya secara utuh sebagai makhluk rasional dan spiritual sehingga kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan dapat terwujud secara kukuh dalam kehidupan ini. Pelacakan terhadap ajaran substantif agama-agama akan membuktikan secara jelas tentang komitmen agama terhadap pengembangan kehidupan semacam itu. Namun di tingkat praksis, sejarah agama justru menampakkan diri dalam wajah yang berbeda, bahkan bertentangan dengan misi agama itu sendiri. Agama sering terlibat –tepatnya dilibatkan –dalam konflik-konflik kekerasan ditengah komunitas adat.
Penyudutan agama sebagai akar konflik ditengah komunitas adat, tidaklah berlebihan dalam hal hancurnya kehidupan beradat bagi komunitas adat saat ini. Konflik dikomunitas adat yang bernuansa agama dan adat sejatinya merupakan persoalan yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan. Selain itu, dalam tataran realitas, konflik tersebut di berbagai daerah dan kawasan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu kekerasan (agama yang) sektarian dan etnik mempunyai keterkaitan ironik dengan eforia globalisasi dan transformasi institusional. Globalisasi sebagai upaya mewujudkan desa dunia dengan masyarakat yang mencerminkan kesederajatan dan kebersamaan masih bersifat angan-angan. Justru yang terjadi, globalisasi menjadi ajang pertarungan antara yang kuat, setengah kuat, dan lemah serta paling lemah. Ironisnya, kelompok yang lemah dan sangat lemah terus menjadi korban dan belum menikmati keuntungan dari proses modernitas tersebut. Sebagai akibatnya, ketidakberdayaan, kecemburuan, dan sebagainya mulai menyelimuti kelompok atau masyakat yang terpinggirkan. Dalam kehidupan yang dianggap mengancam tersebut, mereka akhirnya mempertentangkan perbedaan identitas antara mereka yang kuat dan lemah, antara yang “menang” dan “dikalahkan”. Agama, desa dan adat sebagai unsur yang paling mudah untuk mengembalikan semangat dan persatuan kelompok dijadikan alat untuk melawan dan memerangi ancaman di hadapan mereka. Selain itu, globalisasi dan modernitas telah membawa dampak krisis identitas terhadap suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Kondisi itu membuat kelompok atau komunitas yang merasa teralienasi berupaya mencari simbol-simbol yang dapat meneguhkan identitas mereka. Dalam konteks semacam itu, agama memperoleh fungsi yang krusial untuk membangun identitas mereka. Agama dijadikan alat untuk melawan kelompok, penguasa, atau bangsa yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap komunitas adat.
Tampaknya Karld W Deutsch, benar. Ia mangatakan bahwa mobilisasi social dapat mempengaruhi terjadinya konflik. Mobilisasi social yang dimaksud adalah sebagai keseluruhan dari proses perubahan social yang terjadi pada setiap masyarakat yang bergerak dari cara hidup tradisional ke modern. Unsure-unsru perubahan tersebut berupa pemberantasan buta huruf, tempat tinggal (urbanisasi), mata pencaharian (dari agrikultur ke nonagrikultur) dan berbegai karakteristik lain yang mengubah cara hidup yang tradisional. Mobilisasi jemaat yang dilakukan evangelis, telah menjadi contih konrit dalam hal ini.
Terpeliharanya hukum adat dan adat-istiadat pada masyarakat adat, merupakan alasan yang sangat menentukan bagi eksistensinya. Apalagi mengingat struktur organisasi bentukan pemerintah, belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, bahkan seringkali digunakan sebagai cara untuk memasung dan mematikan dinamika kehidupan masyarakat adatnya. Menjaga eksistensi struktur kepengurusan masyarakat adat dalam dunia kehidupan masyarakat adatnya, bukan hal yang mudah. Berbagai kendala menjadi sebab ketidak mudahan tersebut. Berdasarkan hasil riset persoalan internal yang ditemui antara lain adanya sebagian masyarakat adat yang tidak mengetahui adat-istiadat, terutama di kalangan generasi muda serta menipisnya kebersamaan untuk mempertahankannya. Sementara faktor eksternal yang sangat mungkin adalah pengaruh aturan dan kebijakan pemerintah, serta pengaruh budaya asing. Pemerintah kadang cenderung memarjinalkan sistem dan tata nilai masyarakat adat Dayak, seperti pembentukan sistem pemerintahan masyarakat yang berkarakter seragam dan padu, perombakan sistem kehidupan rumah panjang menjadi rumah tunggal serta reforma agraria dan kehutanan, yang kurang berpihak kepada hak-hak masyarakat adat dan lain-lain. Untuk itu masyarakat adat perlu didorong guna membuat konsensus bersama, dengan membangun kesadaran kolektif kembali dalam rangka meningkatkan upaya pemberlakuan hukum-hukum adat. Termasuk pula nilai-nilai lokal, yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang sebenarnya, dengan mendorong tetap lestarinya adat-istiadat dari pengaruh budaya asing yang bertentangan. Pemerintah tentunya dalam hal ini harus mampu meregulasi dan mengeluarkan kebijakan, terutama yang menyentuh masyarakat adat. Berbagai aspek kearifan kultural harus diperhatikan, guna menciptakan produk hukum dan kebijakan berkarakter responsif. Ini tidak lain dimaksudkan untuk mewujudkan suatu keadilan yang substantif, sehingga dapat mengakomodasi nilai-nilai kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat adat.
***********





 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons